Aku pergi tanpa kabar bukan untuk menghindarimu. Anggap saja aku pura-pura melupakanmu. Nanti disaat waktu yang tepat aku akan kembali dan menceritakan sebuah kisah yang menjadi alasan mengapa jarak kita harus jauh untuk sementara.
Entah kamu mau menerimaku kembali, entah kamu mau percaya atau tidak itu adalah hak mu. Hanya saja sudah menjadi kewajibanku untuk berkata jujur padamu.
Aku Rifki, teman-temanku biasa memanggil dengan nama Riko. Bukan tanpa alasan, sebab di waktu SMA dulu ada beberapa teman yang namanya juga Rifki.
Kebetulan saat itu aku adalah Ketua Osis maka orang memanggilku Riko singkatan dari Rifki Ketua Osis dan hingga sekarang nama Riko melekat padaku.
Aku adalah anak yang pendiam dan sangat malas untuk bicara panjang lebar berbeda dengan seorang wanita yang ku kenal sejak masih sekolah dulu.
Wanita itu namanya Sasa. Anak yang cerewet, suka teriak, dan ketawanya keras, kalau tertawa terkadang sampai memukul atau mencubit. Sasa itu adik kelasku dan dia juga pacarku.
Tuhan memang maha adil dan maha asyik. Menciptakan manusia berpasangan untuk saling menutupi kekurangan. Jika aku adalah mendung maka Sasa adalah pelangi, tapi dia kayaknya lebih cocok jadi gledek.
Hubungan kami begitu manis tapi juga terkadang asin hingga akhirnya suatu saat berubah menjadi pahit dan pedis. Di suatu waktu yang salah, hatiku berkhianat meskipun pikiranku selalu memberontak akan kesalahan ini.
Beberapa tahun yang lalu aku bergabung di sebuah komunitas yang bergerak di bidang kesenjangan sosial, lebih tepatnya kegiatan berbagai dan sedekah kepada tunawisma atau anak gelandangan.
Kebetulan saat itu aku menjadi ketua komunitas tersebut. Dibantu oleh beberapa teman angkatan yang se-fakultas denganku. Termasuk salah satunya adalah seorang teman yang namanya Shafaluna atau lebih akrab dipanggil Luna.
Luna adalah wanita yang lemah lembut namun penuh semangat dalam kesehariannya. Dibalik semangat itu ia mempunyai fisik yang lemah. Tak jarang ia pingsan dan lemas secara tiba-tiba.
Betul yang dikatakan kebanyakan orang. Perasaan suka diantara sepasang orang teman itu pasti akan timbul seiring berjalannya waktu tergantung seberapa sering ia bersama.
Luna begitu paham dan tau jika aku mempunyai pacar yang namanya Sasa dan aku sering cerita padanya mengenai hubunganku. Sebenarnya awal dari rasa nyaman itu adalah curhat. Awalnya curhat lama-lama jadi suka.
Aku yang awalnya sering curhat mengenai hubunganku dengan Sasa namun kemudian Luna mulai terbuka mengenai kehidupannya. Ayah dan Ibunya telah pisah sejak ia balita.
Luna mempunyai penyakit yaitu sering sakit kepala yang tak tertahankan yang membuatnya terkadang tiba-tiba kehilangan kesadaran dan terjatuh pingsan.
Sudah beberapa kali ia pingsan di hadapanku dan pernah sekali aku melihatnya mengeluarkan darah dari hidungnya. Katanya itu sudah biasa dan katanya jika terlalu lama dibawah terik matahari biasanya ia mimisan.
Suatu hari aku ke kamar kostnya ingin meminjam sebuah buku. Kebetulan kami tinggal di kost yang sama, bedanya anak perempuan kamarnya di lantai dua sedangkan anak cowok di lantai bawah. Pintu kamarnya sedikit terbuka dan terdengar suara pelan tangisan Luna.
Setelah aku membuka pintu aku melihat hidung dan mulut di wajahnya dipenuhi darah. Aku panik dan segera mengambil tisu yang ada di atas rak lemarinya. Saat itu aku membersihkan wajahnya. Luna tak henti menenangkan dan berbisik padaku agar aku tak panik dan tidak memberitahukan kepada siapapun.
Saat itu Luna memelukku dan bersandar di dadaku. Sambil menghela nafas panjang ia memohon supaya aku tidak menceritakan mengenai yang aku lihat. Kemudian aku menenangkannya sambil menunggu ia akan menceritakan yang sebenarnya.
Sejak beberapa tahun yang lalu Luna mengalami trauma atau benturan di kepala yang mengakibatkan pendarahan di selaput otaknya. Namun katanya itu tidak berbahaya dan tak ada hubungannya dengan mimisan.
Sejak saat itu aku jadi lebih perhatian padanya. Itu salah satu hal yang membuat perhatianku terbagi antara Sasa dan Luna. Disana ada Sasa yang merasa rindu akan hadirku dan disini ada Luna yang membutuhkanku.
Suatu hari, aku berada di kampus bersama Luna dan tanpa sebab ia kembali pingsan. Aku bersama teman-teman menolongnya dan lagi-lagi hidungnya mengeluarkan darah. Karena kami panik maka kami membawanya ke rumah sakit.
Disaat yang genting seperti itu tiba-tiba Sasa menelpon dan menuduhku dekat dengan seorang wanita. Sontak emosiku tak tertahankan hingga akhirnya kami saling bernada tinggi. Tak hanya sampai disitu, itu berlanjut di chat. Astagaa!!
Beberapa hari belakangan hubunganku dengan Sasa sedang tidak baik-baik saja. Aku memilih untuk menenangkan diri dan membatasi komunikasi dengannya. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit untuk menemani Luna.
Di suatu malam, disaat aku hanya berdua dengan Luna di sebuah kamar rumah sakit, ia menatapku dan bertanya padaku.
"Apakah di dunia ini ada seorang pria yang mau menikah dengan orang yang menyusahkan seperti aku ini yah?" Tanya Luna.
Aku mencoba menenangkannya dengan menjawabnya dengan serangkaian kata bijak yang pada intinya jika tuhan berkehendak siapapun bisa termasuk aku.
Kemudian Luna kembali bertanya padaku.
"Jika tuhan menuliskan takdir aku menikah denganmu, apakah itu hal yang mustahil?"
"Tak ada yang mustahil, sekalipun kita menolak mungkin Tuhan hanya tersenyum memberi isyarat bahwa yang telah ditakdirkan haruslah terjadi." Jawabku pada Luna.
"Bolehkah kita berpura-pura menjadi takdir itu? Meskipun hanya sementara apakah boleh untukku memiliki takdir yang telah Tuhan takdirkan bukan untukku?" Luna menatapku dengan raut wajah kesedihan.
Saat itu aku hanya tersenyum menatapnya. Entah mengapa aku sangat menyayangi Luna. Entah mengapa aku tiba-tiba mencium keningnya dengan penuh rasa sayang. Luna menutup mata dan mengeluarkan air mata kemudian berbalik membelakangiku hingga akhirnya ia tertidur.
Beberapa hari kemudian, disaat Luna telah agak baikan, aku menghubungi Sasa dan mengajaknya bertemu. Aku ingin menceritakan semuanya padanya namun disaat kamu bertemu bibirku tidak dapat menceritakannya.
Aku merasa ketakutan berkata jujur padanya. Aku merasa takut kehilangannya apabila ku katakan sekarang. Aku juga takut jika Sasa membenci Luna yang tidak bersalah dalam kisah ini. Aku hanya bisa tersenyum dan menatap Sasa meskipun sesekali kami bercanda seperti biasanya.
Hubunganku dan Sasa mulai membaik namun pada akhirnya sesuatu terjadi yang membuatku harus menghilang dari Sasa. Ini begitu jahat buat Sasa namun disatu sisi aku ingin berbuat sesuatu yang mungkin baik bagi Luna.
Suatu hari aku menemani Luna ke rumah sakit untuk memeriksa kondisi kepalanya. Dokter memberitahukan padaku bahwa dalam waktu dekat Luna harus menjalani operasi sebab jika tidak darah di kepalanya akan membeku dan kemungkinan terburuknya bisa mengakibatkan kematian.
Luna sudah mengetahui kondisinya itu sejak lama. Ia begitu pasrah menjalani hari hingga suatu hari ia memohon padaku agar dia tidak menjalani operasi. Aku sempat menolak namun ia menangis memohon dan menolak untuk di operasi.
Yang paling membuatku dilema adalah ketika Luna memohon untuk aku ada disaat terakhirnya. Ia ingin merasakan cinta dari seorang pria karena baginya ia sudah menganggapku saudara sekaligus ayah.
Disaat terakhir Luna begitu posesif padaku. Itu yang membuatku harus menghilang dari Sasa. Semua perhatianku harus untuk Luna dan itu semua kulakukan cuma sementara.
Hanya beberapa hari, kurang lebih seminggu aku menghilang dari kehidupan Sasa dan saat itu pula aku berada di kehidupan Luna. Hari itu Luna kembali mimisan. Kali ini darahnya begitu banyak hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. Dengan cepat aku membawanya ke rumah sakit.
Sehari sebelum kejadian yang memilukan ini aku dan Luna sempat berada berdua di kamar kost. Luna tampak begitu senang dengan kehadiranku. Tak terlupakan di ingatanku disaat Luna memelukku tepat di waktu aku berdiri di hadapannya.
Tanganku tak terasa ikut memeluknya. Rasa ini, rasa yang tak pernah kurasakan. Ini seolah pelukan kasih sayang akan kehilangan. Aku kembali mencium keningnya dengan cukup lama sambil menutup mata merasakan kasih sayang ini.
Awalnya aku hanya berpura-pura menuruti semua inginnya namun disaat terakhir aku begitu menyayangi dan nyaman bersamanya. Hingga akhirnya tiba waktu dimana ia berada di rumah sakit untuk terakhir kalinya.
Dokter berkata padaku jika ia harus segera di operasi namun sangat kecil kemungkinan untuknya bisa bertahan. Setelah beberapa jam berjuang akhirnya Luna menghembuskan nafas terakhir dan itu membuatku sangat sedih kehilangannya. Sungguh tangis ini begitu sakit terasa di hatiku.
Aku kehilangan seseorang yang membuatku merasakan kasih sayang dan mungkin tak lama lagi aku juga kehilangan orang yang selama ini menanti kabar dariku. Setelah pemakaman Luna aku kembali menjalani hari namun dengan perasaan yang berbeda.
Suatu hari, aku ingin menenangkan diri. Aku memutuskan untuk pergi ke sebuah alun-alun kota dimana disana ramai dengan jajanan. Saat itu terjadi sebuah tragedi yang membuatku sedikit heran.
Saat itu aku melihat Sasa bersama seorang pria. Mungkin saja itu adalah temannya namun yang menarik perhatianku ketika ku lihat Sasa menangis. Aku menghampirinya kemudian bertanya namun tiba-tiba pria itu memukulku.
Menurut mereka aku menduakan Sasa dengan seolah ia melihatku bersama wanita di tempat itu padahal aku ke alun-alun kota seorang diri. Ku pikir itu adalah ilusi mereka namun mungkin saja wanita ituu?? Ah sudahlah, ini saatnya aku berkata jujur pada Sasa mengenali yang terjadi selama ini.
Setelah kejadian itu, Sasa masih menerimaku dan percaya bahwa ada suatu alasan dibalik semua ini. Aku menceritakan semuanya dan Sasa percaya padaku. Aku dan Sasa pernah datang ke makam Luna bermaksud untuk memperkenalkan mereka meskipun mereka tak dapat bertemu.
Bagiku Luna adalah wanita yang mengajarkanku arti pentingnya perhatian dan kasih sayang kepada pasangan karena tak selamanya pasangan kita akan selalu ada di dunia ini. Sejak saat itu aku berjanji akan selalu ada untuk Sasa...