Senja berganti malam dan malam berganti pagi. Malamku terkadang panjang demi menyambut cerahnya pagi. Senja? Aku tak pernah menikmati senja sebab ku pikir senja begitu singkat berganti menjadi malam.
Sampai akhirnya ku sadari jika hal yang singkat tidak selalu buruk bahkan penuh kesan apabila kita menikmati tiap momennya. Seperti yang ku alami, hubungan yang begitu singkat namun penuh kesan yang menjadi bagian kisah hidup.
Berakhir sudah malam ini, semua hal yang telah berlalu telah menjadi kenangan. Pagi ini aku merasakan kenyataan bahwa hatiku membahasakan kejujuran rasa yang sebenarnya.
Secara otomatis bibirku tersenyum ketika ku ingat kebersamaanku dengan Ranti. Memang benar ia adalah juniornku di kampus tapi kedekatan kami sudah seperti saudara. Kami tinggal di kost yang sama, maksudku kamar cewek di lantai bawah sedangkan cowok di lantai atas.
Beberapa tahun terakhir hampir setiap hari aku bertemu dengannya. Masakan Ranti begitu enak. Aku bahkan rela ke pasar apabila ia ingin memasak untukku. Kami sering makan bersama di kost. Berangkat ke kampus pun kami bersama bahkan di kampus kami juga sering berdua, benar bagaikan saudara.
Entah ada apa, kami tak sedekat dulu lagi. Jujur ku akui aku sedang menjalin hubungan dengan yang lain, dia adalah Nadia. Seorang wanita yang begitu keren di mataku. Dulu kami satu kelompok di sebuah acara Fakultas.
Nadia berbeda dari wanita pada umumnya. Dia Tak banyak drama, suka bercanda dan dia paling semangat jika ada aksi atau demo kampus. Dia sangat memperjuangkan hak wanita.
Dia memang perokok dan katanya punya tatto di bagian tubuh tertentu, meski demikian namun dia wanita baik-baik, tak pernah berkata kasar atau teriak-teriak bahkan tak pernah sekalipun aku melihat bagian tubuhnya begitu terbuka dengan gaya berpakaiannya.
Entah mengapa aku menyukainya belakangan ini. Yang ku tau dari temannya, ternyata dia menyukaiku sejak kami terlibat dalam kegiatan fakultas dulu.
Sebut saja aku Reno. Aku seorang pria biasa yang tidak tertarik dengan trend kehidupan modern, namun bukan berarti aku makhluk klasik atau seorang kutu buku.
Baju kaos, celana jeans, sendal ala anak gunung, ransel berisi pakaian, rokok, kopi dan buku, itu adalah starter pack yang ku miliki. Bagiku, aku dan Nadia begitu serasi dalam hal gaya hidup.
Tak ada lagu atau musik untuk cerita yang akan ku ceritakan ini. Ini hanya membuatku merasakan perasaan yang terasa manis asam asin.
Sudah beberapa hari aku sering melihat Nadia di kampus. Seringkali tatapan kami saling bertemu tapi tak saling sapa. Maka aku mencari kontaknya dan akhirna kami saling bicara melalui chat.
Pada akhirnya aku mengajaknya bertemu. Saat itu aku begitu malu dan akhirnya aku mengajak Ranti. Harus ku akui dalam beberapa hal aku mengandalkan Ranti termasuk dalam hal curhat dan wanita.
Setelah pertemuan itu, kami begitu akrab dan akhirnya aku mengatakan perasaannku padanya. Dengan senyum ceria dia menyambut perasaanku dengan begitu bahagia. Seolah aku ditakdirkan untuk hadir di kehidupannya.
Meski begitu sibuk dengan urusan maba dan pengkaderan kampus tapi ku luangkan waktu untuk bertemu dengannya. Terkadang disaat malam tiba aku datang ke kost nya, membawa makanan, menatap langit menembus pagi, merokok bersama sembari membahas masa depan yang entah akan seperti apa.
Suatu malam Nadia menanyakan sesuatu padaku. Katanya, jika ada cinta yang lebih besar darinya apakah aku akan berpaling? Ku jawab tidak karena sepengetahuanku saat ini tak ada yang meyukaiku.
Nadia kembali bertanya. Katanya, jika seandainya orang itu adalah seseorang yang perasaannya tak lagi bisa kusadari, apakah aku tetap akan bersamanya? Jujur aku juga bingung dengan pertanyaannya yang begitu memutar logikaku.
Seketika aku mengerti dengan jawaban yang dimaksud oleh pertanyaan Nadia. Kami saling menatap, suasana terasa hening beberapa saat dan Nadia tersenyum mengangguk seolah memberi isyarat bahwa yang ku maksud memang dia.
Sambil menatap langit menghembuskan nafas diikuti asap rokok, Nadia berkata,
"Jika memang itu adalah dia, jangan memberinya harapan kemudian kamu memilih dengan yang lain. Memilih denganku tidak salah tapi membuat orang terluka hanya karena aku menjadi pilihan membuatku merasa bersalah."
Sambil menatapku tersenyum dia kembali berkata,
"Saat ini aku tak memberimu pilihan, apapun pilihanmu kamu harus berjanji padaku jika kita bertemu tetaplah akrab seperti ini, diskusi, tersenyum dan merokok bersama."
Malam itu diakhiri dengan suasana yang romantis berbalut dilema. Sebelum berpisah aku mencium kening Nadia. Dia menutup matanya sembari tersenyum dan memukul dadaku dengan lembut.
Dalam hati aku berkata, "Tapi kenapa? Kenapa baru sekarang aku bisa menyadari kehadiran cinta yang telah lama berada di dekatku? Kenapa aku tidak bisa melepas Nadia yang telah merelakan dirinya demi cinta itu? Kenapaa hatiku begitu mencintai mereka? Haruskah aku memilih apa yang menjadi pilihanmu?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar